Sejak kemunculannya di Indonesia virus Covid-19, sejauh ini bukannya menunjukkan trend penurunan. Sebaliknya, yang terjadi ialah peningkatan secara terus-menerus. Pemerintah sejauh ini telah bekerja semaksimal mungkin untuk mengendalikan laju penyebarannya. Tetapi pemerintah masih kalah saing untuk mengendalikannya. Hingga Minggu 31 Mei 2020, Indonesia mengkonfirmasi 26.473 kasus Covid-19, dengan 7.308 sembuh dan 1.613 meninggal.
Berbagai keputusan strategis telah dihasilkan untuk menanggulangi kasus ini. Keputusan-keputusan yang diambil dinilai kontradiktif. Seyogianya keputusan yang dimaksud dapat membantu warga untuk keluar dari jeratan ini. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru kesesatan dalam cara berpikir akibat dari keputusan itu.
Tidak terhitung, sudah banyak pernyataan nyeleneh yang muncul sejak awal pemberitaan di media massa. Alih-alih mendidik. Pernyataan pemerintah banyak dinilai simpang-siur. Akibatnya masyarakat risau dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan.
Idealnya dalam menjawab kebutuhan informasi masyarakat ditengah gempuran virus Covid-19. Pemerintah harusnya menghindari penyataan yang menuntun masyarakat untuk bertindak apatis terhadap negara. Hal yang mesti dikhawatirkan ialah tindakan apatis jauh mendominasi jika dibandingkan dengan ketaatan terhadap keputusan yang dihasilkan. Tindakan apatis terhadap kebijakan yang dikeluarkan sulit diterima oleh logika masyarakat.
Sebagai contoh, presenter kenamaan Najwa Shihab mewancarai secara ekslusif bersama Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo. Wawancara yang bertajuk “Jokowi Diuji Pandemi” yang diunggah pada 22 April 2020. Wawancara tersebut berkaitan dengan pergerakan orang di Jakarta ke provinsi-provinsi lain di Indoneisa yang dapat menuai masalah. Pasalnya, negara merancang kebijakan untuk melarang mudik, membolehkan pulang kampung.
Najwa yang dibuat bingung dengan pernyataan Jokowi sontak mengeritkan dahinya. Kebingungan terjadi apakah hanya pada konteks perbedaan waktu saja yang membedakan mudik dan pulang kampung. Dalam pemahaman Najwa antara mudik dan pulang kampung itu serupa. Keduanya, antara mudik dan pulang kampung punya kemungkinan besar untuk menyebarkan virus Covid-19 dari Jakarta ke daerah lain di Indoneisa.
Sebagaimana detiknews.com (24/4), yang mengutip pernyataan Ivan Lanin sebagai pegiat dan pecinta bahasa Indonesia yang banyak dirujuk. Ivan Lanin dalam statusnya mengatakan “Kamus sudah mati ketika politikus mendefinisikan sendiri arti kata; ketika para pendengung sibuk mencari pembenaran; ketika para pengikut membeo mengiakan; ketika kepentingan mengalahkan kebenaran; dan ketika aku tidak sanggup berteriak”.
Baru-baru ini juga, masyarakat kembali dibuat apatis terhadap langkah yang diambil oleh pemerintah. Bukan tanpa sebab, sebab beberapa putusan sebelumnya penalaran logikanya belum sepenuhnya bisa diterima.
Mananggapi berita yang beredar diberbagai portal media massa. Tidak sedikit dari pembaca merespon dengan ekspresi kekecewaan terhadap berita itu. Kekecewaan itu muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani kasus virus Covid-19 di Indonesia.
Berita yang dimaksud diangkat dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada perhelatan upacara memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020 yang selenggarakan secara virtual di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Logical Fallacy
Pada tahap ini, yang perlu digaris bawahi ialah belum sepenuhnya ingatan masyarakat terhadap pernyataan Jokowi yang menyatakan agar warga negara dapat hidup berdamai dengan Covid-19 diterima secara baik. Pernyataan ini disorot karena sebelumnya menyatakan pereng melawan corona.
Akibat dari pernyataan itu, istana merespon dengan upaya pelurusan logika bahwa maksud dari pernyataan itu ialah covid-19 akan terus ada selama vaksin belum ditemukan. Karenanya roda perekonomian nasional harus terus jalan. Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Hal ini menurut penulis, istana juga berupaya untuk menjelaskan makna hidup damai dengan virus covid-19 upaya pembagunan persepsi untuk pada tahapan baru yang disebut sebagai new normal. Agar masalah dihadapi tidak menghambat sendi-sendi kehidupan yang lain.
Tetapi dalam pemberitaan terbaru, media massa memberitakan isi pidato Jokowi yang menyatakan keinginan pemerintah untuk keluar sebagai pemenang dalam perang melawan virus Covid-19. Virus ini telah menguji daya juang, pengorbanan, kedisiplinan, kepatuhan dan ketenangan seluruh elemen bangsa Indonesia. Dengan harapan pemulihan ekonomi dapat dilakukan secepat mungkin.
Pada tahap ini pula jangan menyalahkan warga negara merespon dengan kekecewaan. Sebab disini terdapat sifat inkonsistensi dari pemerintah terhadapt pernyataan-pernyataan resmi kenegaraan yang diberitakan oleh media. Hal ini juga bukan terjadi tanpa sebab. Pasalnya judul berita dalam pemberitaan tersebut banyak warga menggiring warga negara pada kesalahan dalam penalaran.
Dari awal pemerintah sudah menyatakan perang terhadap virus Covid-19. Namun beberapa waktu setelahnya warga diajak untuk berdamai. Disini perlu ditelaah, dalam pendekatan interteks. Kata ‘perang’ dan ‘damai memiliki perbedaan makna yang cukup jauh.
Jika perang dimaknai sebagai satu kondisi dimana warga negara dalam keadaan genting dan itu berhubungan langsung dengan nyawa. Maka damai adalah kebalikannya, yaitu suatu kondisi dimana manusia dapat dapat beraktivitas secara normal, tanpa ada momok yang menakutkan untuk khawatirkan.
Sistem komunikasi publik pemerintah terkait virus Covid-19 masih lemah dan tumpang tindih. Sehingga menyebabkan longgarnya fokus pemerintah pada informasi prioritas yang harus disampaikan pada publik. Maka tidak heran kemudian strategi komunikasi yang digunakan pemerintah tidaklah matang dan koordinatif.
Buntut dari pernyataan itu, disinilah kesalahan penalaran atau logical fallacy dalam pernyataan resmi mulai timbul. Kesalahan penalaran, juga akan menimbulkan kesalahan dalam pemaknaan tujuan dari kebijakan negara. Kondisi ini membuat warga negara apatis dengan pemerintah. Sehingga memicu timbulnya konflik yang dapat bersifat disintegratif bagi bangsa.
Muhammadiyah Menyikapi
Disaat pemerintah mulai menyerah dengan virus Covid-19. Justru Muhammadiyah terus berikhtiar menggalakkan dukungan untuk terus melawan corona-19. Pilihan new normal yang digagas oleh negara mesti dikiritisi secara serius. Sebab jangan karena kepentingan ekonomi. Aspek kemanusian (nyawa) diabaikan.
Sebagai Ketua PP Muhammadiyah Haedah Nashir, wajar kemudian meminta penjelasan pemerintah terkait pilihan itu. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak menafsirkan masing-masing arti dari new normal. Karena Muhammadiyah juga bertanggungjawab secara kemanusian. Serta menggerakkan seluruh komponennya untuk bersatu melawan virus Covid-19 secara nasional.
Yang diinginkan oleh Muhammadiyah, negara seharusnya menjelaskan secara performatif. Agar pernyataan tidak hanya melibatkan kata-kata semata. Tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Dengan kata lain pernyataan performatif negara tidak hanya mau menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti negara menyatakan sekaligus melakukan sesuatu untuk warga negara.
Maka ketika rakyat merespon, melonjak dangan nada-nada kemarahan terhadap kebijakan yang seperti ini, jangan langsung cepat disalahkan. Ada baiknya pemerintah bertabayyun untuk berkoreksi diri. Warga negara melakukan upaya pemerotesan pun, bagian dari upaya untuk menunjukkan kecintaan mereka terhadap bangsa. Mereka butuh kepastian.
Kekonsistenan Muhammadiyah untu melawan virus Covid-19 itu menunjukan keseriusan dalam misi kemanusiaannya. Meskipun harus berbeda padangan dengan negara. Muhammadiyah hanya meminta nalar kritis publik selama pandemik virus covid-19 tidak dikelabui.
Karena jaringan rumah sakit Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tahu betul kondisi yang terjadi dilapangan salama masa penanganan berlangsung. Muhammadiyah tidak mudah untuk didikte. Ia adalah berbidiri sendiri, tidak menggantungkan nasibnya pada negara.
Jangan pula ketika ada kader Muhammadiyah yang mengkritik. Mengemukakan pendapat dimuka umum. Dicap dan dianggap berseberangan dengan negara.
Jika perspektif itu yang selalu dikedepankan. Maka setiap dari mereka yang kritis, apa iya nalar kritisnya dianggap merendahkan pemerintah. Apalagi setiap dari pernyataan itu juga dihubungkaitkan dengan upaya-upaya makar terhadap pemerintah. Termasuk oleh kader Muhammadiyah.[]
Muh. Anhar; Mahasiswa Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia (Master of Communication)