DIANTARA alasan utama milyaran manusia di dunia bahkan sudah triliyunan manusia sejak dulu hingga kini begitu yakin pada Islam dan kebenaran ajarannya adalah karena ada model manusia sekaligus ada penafsir autentik atas teks sucinya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan perintah Allah melalui malaikat Jibril.
Sehingga dalam Islam, kesadaran beragama sangat kuat. Tak ada pemaksaan dalam menjalankan ajarannya. Tuhan menggariskan agar melaksanakan ajaran agama semampunya. Umat Islam bisa bershaum selama sebulan ramadan, itu dilakukan secara sadar. Basisnya keyakinan, karena ada uswah atau teladannya.
Ini sangat jauh berbeda dengan Pancasila. Pancasila dirumuskan oleh banyak tokoh yang beragam latar belakang dan pandangan bahkan orientasinya. Hingga kini tak ada tokoh yang benar-benar bisa dijadikan model manusia yang Pancasilais. Sehingga tak sedikit yang ragu dan terus bertanya soal autentisitasnya.
Di sini bukan soal menolak atau tidak atas dasar negara, bukan juga soal dasar negara, tapi masalah otoritas, kemampuan, integritas dan model. Siapa yang punya otiritas dan kemampuan dalam menafsirkan Pancasila, lalu bagaimana integritas dan model manusianya?
BPIP tidak bisa ditempatkan sebagai penafsir tunggal Pancasila lalu dianggap sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam menjelaskan dan menafsirkan Pancasila. Mereka juga bias kepentingan politik. Tak ada garansi mereka benar-benar memahami Pancasila sesuai yang dikonstruksi para pendahulu.
Bila mereka saja demikian, apalah lagi rakyat biasa yang tak terlibat dalam pergulatan perumusan Pancasila. Lagian untuk apa sibuk memamer diri seakan-akan paling Pancasila alias Pancasilais, tapi baca buku tentang Pancasila saja engga pernah. Bagaimana bisa kenal dan paham Pancasila bila diskusi ilmiah saja malas bahkan ada segelintir orang menganggapnya sebagai makar?
Kalau merawat dan membela Pancasila masih terjebak dalam pola dangkal semacam itu, maka Pancasila selamanya hanya jadi objek pencitraan. Pancasila digaungkan dalam momentum politik tapi rumusan dan substansinya tak pernah dipahami dan memang seperti sengaja dipersimpangkan. Bahkan bisa jadi Pancasila bakal mati suri dibawah ketiak mereka yang kerap mendustainya, atau juga sok membelanya.
Konon Pancasila itu berintikan: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Semuanya dikonstruksi dalam paket perdebatan yang panjang para tokoh lintas latar belakang dan pandangan. Mereka bertukar pikiran dan silang pendapat. Bukan sekali tapi berkali-kali. Satu peristiwa sejarah yang menggembirakan dan tentu bikin kita jadi bangga juga haru.
Pertanyaannya, apakah Pancasila dengan pemaknaan semacam itu masih relevan di zaman ini manakala praktik ateistik, dehumanisasi, dehetrogenitas, monopoli kebijakan dan kezoliman sosial masih dipamer secara terbuka bahkan dilakukan oleh para pejabat negara juga warga biasa?
Pancasila memang hanya akan menjadi nama atau sila biasa saja manakala tidak dipahami secara mendalam berdasarkan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam. Perayaan seremonial, HUT yang masih diperdebatkan dan berbagai acara serupa takkan ada apa-apanya manakala sekadar pesta kelompok dengan isme yang dibawa atau didagang secara berkala, namun menafikan substansi Pancasila sesuai rumusan para perumusnya.
Tak jauh-jauh, sederhana saja. Bicara apa adanya saja. Di kampung dan desa-desa, tak ada perayaan ini itu yang berkaitan dengan Pancasila. Sebagian mereka malah tidak kenal lima sila Pancasila. Mereka cukup tekun ke sawah, menjadi petani yang berdamai dan bersahabat dengan sawah tadah hujan, tidak mengganggu kenyamanan dan hubungan baik dengan sesama. Saling menghormati, tolong menolong, toleransi dan melek sosial sangat terasa.
Setiap hari para pedagang ke pasar, mereka taat beribadah, menjaga hubungan baik dengan sesama termasuk dengan yang berbeda latar belakang, menjaga soliditas warga, kerap bermusyawarah dalam beragam kegiatan dan turut serta dalam menghadirkan kehidupan sosial yang menyamankan bagi semua.
Lagian, para maling anggaran negara dari APBN dan APBD kerap merayakan hari lahir Pancasila yang pada dasarnya belum ada tanggal yang benar-benar final. Karena tanggalnya pun masih diperdebatkan di hampir setiap kesempatan. Tanggal berapa kepastiannya, masih menjadi perbincangan banyak kalangan. Apakah 29 Mei, 1 Juni, 22 Mei, atau 18 Agustus 1945?
Mereka yang kerap ingkar janji kampanye politik juga hafal betul sila satu hingga lima Pancasila. Tapi tak sedikit diantara mereka yang terjebak korupsi, yang tentu bertentangan dengan Pancasila. Penjara sekian tahun pun itu hanya momentum bagi mereka untuk menyusun pola baru dalam merampok uang negara.
Nah, bila Pancasila benar-benar ingin dijadikan dasar dalam bernegara, akan lebih bijak manakala dilakukan semacam pendalaman yang tuntas. Selanjutnya perlu dirumuskan juga bagaimana mekanisme pembinaan manusia yang berjiwa Pancasila, termasuk kelak hingga mempunyai otoritas dalam menjelaskan dan menafsirkan nilai-nilainya. Sehingga kita punya semacam model manusia Pancasila yang layak diteladani.
Sepengetahuan saya, pancasila itu berintikan: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Semua itu ada dalam Islam. Itulah sebagian dari ajaran Islam yang saya pahami selama ini. Sehingga bila hendak memahami Pancasila, saya cukup memahami ajaran Islam dari berbagai sudut pandang.
Makanya sejak awal dan di berbagai tulisan saya sering menyampaikan bahwa saya pro Pancasila, sebab rumusan dan nilai-nilai pada silanya merupakan transmisi ajaran Islam. Dari sila pertama hingga sila terakhir. Bagi saya, itu tak ada soal. Karena memang tak ada yang bertentangan dengan Islam. Malah lima sila itu sangat islami.
Selama ini dan hingga kini yang saya tak sependapat adalah bila Pancasila hanya dipidatokan bahkan terkesan dipolitisasi demi kepentingan kelompok yang bernyawa feodal. Feodalisasi atas Pancasila adalah sebentuk rong-rongan yang paling nyata atas Pancasila. “Saya Pancasila, Anda tidak”, “Kami Pancasila, Kalian tidak”, itu sebagian contoh ucapan yang mendegradasi Pancasila dalam kehidupan sosial kita.
Bahkan, Pancasila bakal kehilangan relevansinya manakala praktik ateistik, dehumanisasi, dehetrogenitas, monopoli kebijakan dan kezoliman sosial masih dipamer secara terbuka bahkan dilakukan oleh para pejabat negara bahkan oleh warga biasa. Pancasila pun seperti mati di tangan pembelanya sendiri. Kondisi miris dan memalukan!
Oleh karena itu, mari banyak membaca buku dan karya ilmiah seputar Pancasila. Terutama tentang pendapat, pandangan dan lerdebatan para perumus. Hal ini akan membantu kita dalam memahami Pancasila dari berbagai perspektif. Kita memilih proses internalisasi yang rasional, bukan mengikuti paksaan yang cenderung emosional.
Di atas segalanya, bila ada sebagian kalangan mengkritik Pancasila bahkan menggugatnya, itu jangan dianggap anti negara atau makar. Sebab Pancasila mesti dibaca, dipahami dan dipertanyakan secara terus menerus. Pancasila bisa dipahami dengan baik bila ruang pendalaman dibuka lebar.
Siapapun tidak bisa dipaksa ber-Pancasila, bila tak memahami Pancasila secara keilmuan. Karena itu Pancasila perlu diilmu. Proses “Pengilmuan Pancasila” adalah embrio dari praktik ber-Pancasila yang paling sederhana juga nyata. Upaya pengilmuan Pancasila dalam bergam forum jangan dianggap rong-rong. Siapapun ingin memahami sesuatu termasuk Pancasila lebih pada sisi substansinya, sehingga butuh pendalaman yang terus menerus. Dengan begitu, harapannya Pancasila semakin hidup dan tidak menjadi mati di tangan pembelanya seperti pertanyaan sekaligus judul tulisan ini. (*)
Syamsudin Kadir; Pendiri Komunitas “Cereng Menulis”